Friday, November 11, 2011

02 - Kamu percaya takdir? Aku percaya.

Takdir. Kamu percaya takdir? Aku percaya.

-

Kami berpisah sesaat setelah tangan kami bertaut dan bertukar nama. Hanya nama dan genggaman hangat, sehangat senyumannya.

Setelah itu, aku berjalan ke arah yang aku tuju, dan dia melanjutkan perjalanannya ke arah yang berlawanan. Aku tidak menoleh ke belakang sama sekali.

Kresna adalah laki-laki yang menarik, seingatku. Sekilas. But it was nothing, but coincidence.

Seluruh alam semesta yang tidak mengijinkan aku bersatu dengan Vincent, mempertemukan aku dengan seseorang yang sama-sama basah kuyup di tengah kekeringan.

Seperti sebuah pengingat bahwa aku tidak sendirian. Ada juga orang lain yang hidupnya tidak kalah miserable dengan hidupku.

Ngomong-ngomong, Kresna kemarin pakai kacamata tidak, sih?

-

Incoming Call. Vincent.
Getaran ponselku terdengar bahkan di ruangan yang sebenarnya cukup bising ini.

Vincent terus meneleponku semenjak dua hari yang lalu.. dan aku tidak punya nyali untuk mengangkatnya. Begitu pula dengan pesan singkat yang bertubi-tubi. Uh!

“Louisa! Kalo lo nggak mau angkat, gue yang angkat nih!,” kata Sandra, sahabat, partner bisnis, penasehat pribadiku.

“Jangan, iya iya, gue aja,” aku memegang tangannya yang sudah memegang ponselku. “Tapi gue nggak tau mesti ngomong apa sama dia.”

Ia lalu kembali duduk di dekat tumpukan kardus-kardus berisikan barang-barang bekas, lalu terdiam sejenak seakan tidak tahu harus mulai dari mana.

Lalu sekali lagi ponselku bergetar hebat di atas meja.

“Angkatttt!,” teriaknya sambil menimpukku dengan.. entah apa itu.
“Iya, iya!,” aku memandangi sejenak sambil membiarkan ponsel itu bergetar di tanganku. Angkat, nggak, angkat, nggak. Angkat? Nggak. Angkat! Nggak.. Uh!

“Lu, eventually lo harus ngomong juga kan sama dia.”
“Iya sih.”
“Jangan kelamaan.. kesian anak orang.”
“Mm.. iya.”
"Kalo lo diemin dia kaya gini tuh ya, kayak dia yang salah."
"Loh, jadi gue yang salah?"
"Yang jelas sih bukan dia yang salah ya.."
"Iya sih."
"Tapi bukan salah lo juga kalo lo tiba-tiba merasa bahwa lo gak bisa nikah sama dia."
"Iya.."
"Lo pasti punya alesan kan."
"Iya.."
"Tapi cara lo itu yang nggak bener. Masa dia nggak ada salah, terus lo diemin dia, cuekin setiap telpon dan sms dia?"
Aku terdiam.
"Angkat telponya, hadapi kayak orang dewasa."
"Iya buset deh."
“Jangan iya-iya aja.”
“Iyeeeee!”

Lalu getaran itu berhenti.

Aku membanting tubuhku ke sofa yang dingin sambil memandangi ponselku yang telah berhenti bergetar dan menghela nafas ku dengan berat.

Lalu Sandra menyusulku. “Lo itu kenapa sih?”
“Nggak tau,” aku menyesap teh-ku. "Aneh ya?"
“Inget nggak, dulu lo pernah bilang ke gue.. Dia udah yang paling mentok di dunia deh.”
“Inget,” aku menawarinya sekotak kue kering, “Kukis?”
Ia mengambil beberapa, “Terus? Dia ngajak lo kawin, gitu?”
I know!” Aku merebahkan kepalaku.
“Terus? Tiba-tiba lo merasa kalo kalian rasanya nggak ditakdirkan bersama? Atau lo ngerasa dia kurang baik untuk lo? Atau kebalikannya, lo tiba-tiba merasa lo kurang pantes untuk dia?”
“Mungkin.. sebagian kecil dari semuanya. Kecampur aduk jadi satu.”
“Atau lo aja yang belom pengen kawin.”
Aku nyengir.

Aku nggak akan bilang penyebab utamanya hujan, dong.

“Apapun alesan lo,” ia berdiri dan mengebas remah kue kering dari bajunya, “lo gak bisa ngabur terus. Kelarin sama Vincent. He deserves a decent closure.”
Aku terdiam.

Sandra berjalan menjauh dan kembali asyik dengan kardus-kardusnya.

Tanganku menekan tuts dan mencari nama Vincent. Memandanginya beberapa saat lalu menekan tombol 'call'.

“Hei.. Vincent..,” aku berjalan masuk ke ruangan dalam toko kami, meninggalkan Sandra di ruang utama yang masih berkutat dengan pekerjaannya.

-

Klining Klining, suara bel toko dibunyikan.

Sandra berjalan ke depan membuka pintu.

“Malam. Toko Second Opinion?”, laki-laki itu membawa karangan bunga yang besar.
“Iya. Ini dari siapa ya?”
“Ada kartunya, mbak.” Ia menyodorkan tanda terima, “Silakan tanda tangan disini.”
“Interiornya lucu banget, vintage.”
Sambil menandatangani tanda terimanya, “Makasih..”
“Toko apa ya kalau boleh tahu?”, sang kurir bunga pun bertanya layaknya bukan sekedar kurir.
“Kita jual barang bekas gitu.. Semacam thrifted store gitu lah.”
"Oh. Apa aja yang dijual? Fashion?"
"Macem-macem sih. Dari fashion kayak baju, aksesoris, sepatu, sampai pajangan, lukisan, apapun."
"Oh oke."

Sandra memperhatikan kurir yang terlihat rapi dan terpelajar itu dan kemudian menyerahkan tanda terimanya.

Setelah mengembalikan salinan tanda terimanya ia mundur setapak, “Sukses ya tokonya.”
“Oke. Makasih ya.”

Sandra menutup pintu sambil lalu mengintip kartu tersebut.

“Lu, kita dapet bunga nih,” ia meletakkan tanda terimanya di atas meja lalu menyusul Lulu ke dalam ruangan.

_


TANDA TERIMA


FlowerHaus
Petugas Pengantar: Kresna

Tanggal 23 Juli 2011


Telah diterima karangan bunga untuk Toko Second Opinion, Jakarta.
Oleh: Sandra
Jam: 19.02

1 comment:

what do you think?