Monday, November 7, 2011

01 - Lulu dan Kresna

Seharusnya untukku hari ini menjadi hari yang paling cerah.

Bagaikan konspirasi alam, seakan-akan hujan mengacaukan segala yang kubayangkan akan menjadi indah hari ini. Seharusnya aku resmi menjadi tunangan seseorang, ya, hari ini.

-

Aku menatap bayanganku pada kaca depan restoran kesukaanku dan Vincent. Rambut yang telah di-roll semalaman hancur karena hujan. Riasanku juga hilang di sapu air yang berterbangan menyapa wajahku. Tidak adil. Ini harusnya menjadi momen yang penting!

Aku menatap lebih jauh ke dalam restoran. Vincent duduk di tempat favorit kami. Ia duduk membelakangi pintu masuk, seperti biasa. Ia menatap cangkir di depannya dalam-dalam, sesekali mengetuk-ngetukan jemarinya yang mengalungi cangkir tersebut. Ia mengenakan sweater hitam kesukaanku. Ia pasti tampak tampan, seperti biasa.

Beberapa saat lalu, Vincent menanyakan 'pertanyaan besar' itu. Bukannya aku tidak mencintai dia, tapi ini keputusan besar, aku tidak tahu apakah ini saat yang tepat untuk.. menjadi istri seseorang.

Tadi pagi aku bangun dengan keyakinan penuh bahwa Vincent lah Mr. Right-ku. Aku menelponnya, dengan sejuta - mungkin lebih, kupu-kupu di perutku, mengajaknya bertemu siang ini dan saat aku bertemu dengannya nanti, aku akan menerimanya bahkan sebelum ia sempat berkata-kata apapun. Menciumnya dengan penuh hasrat tanpa peduli akan dilihat semua orang. Ergh, mungkin tidak.

Namun hujan seakan pertanda. Sekarang, perasaanku berubah.
Mungkin aku memang tidak ditakdirkan bersama Vincent.

-

Aku percaya pertanda. Mungkin terdengar begitu bodoh dan dangkal, tapi aku mempercayai kutipan 'Everything happens for a reason'.

Vincent yang begitu tampan, dan baunya selalu menyenangkan. Ia tidak merokok, yang menurutku nilai plus, secara finansial mapan, kemampuan masak yang di atas pria pada umumnya, dan ia suka jazz ringan. Lucu kan? Uhh, aku mendadak merasa begitu bodoh dan dangkal.

Tanpa sadar aku telah berjalan cukup jauh, tanpa menoleh ke belakang sedikipun. Aku tidak menemuinya. Tapi aku berharap secarik kertas dan kotak kecil berwarna biru tua darinya yang kutitipkan pada salah satu pelayan cukup untuk membuatnya memaafkan aku.

Setelah ini tidak akan ada lagi drama percintaan antara aku dan Vincent. Paling tidak aku membebaskannya dari semua siklus kegalauanku. Mungkin Vincent tidak akan pernah memaafkanku. Aku bahkan tidak sanggup menemuinya dan mengatakannya langsung. Aku pantas dibenci, dan Vincent pantas mendapatkan yang lebih baik daripada aku.

Matahari saat ini bersinar cukup terik saat ini, bahkan cukup untuk mengeringkan semua hal di sekitarku, selain aku. Dengan rambut dan semua yang menempel di tubuhku basah saat semua yang ada di sekitarku kering, aku merasa seperti orang bodoh.

.. dan orang bodoh ini hanya ingin pulang ke rumah.

Aku mempercepat langkahku sambil menunduk, lalu dengan sukses menabrak seseorang, cukup keras rupanya sampai membuat semua bawaan kami jatuh ke lantai.

"Sorry.. sorry banget. Nggak sengaja. Nggak maksud juga nabrak. Aneh juga kan kalo sengaja?", racauku sambil memungut tasku lalu memandangi orang yang kutabrak, atau mungkin dia yang menabrakku. Laki-laki itu memungut buku bersampul biru yang tampak keriting, basah karena air, sebuah minuman kaleng yang isinya bahkan masih mengalir keluar, ponsel dengan tuts super banyak dan beberapa uang koin. Memangnya tangannya ada berapa?

"Sorry juga," ia tersenyum, lalu membuang kaleng di tangannya.

Tunggu. Kami tampak... serupa. Dia juga basah seperti aku.

Kami berpandangan sejenak lalu menahan senyum tersungging di bibir kami.

"Louisa," aku menawarkan tangan kananku padanya.
"Kresna," ia menyambutnya dengan hangat.

-

Rupanya hari ini jauh lebih cerah dari apa yang aku harapkan.

1 comment:

  1. yeaah, new story. ayok smangat nulis! keep nyampah, spit the racun *englonesia

    ReplyDelete

what do you think?